[MO]-(cerpen) Hanakotoba by Khairunisa Usman


Hanakotoba

(Sudut pandang
Mia)
Dulu, saat umur kita baru sejumlah jari tangan, menjadi temanmu saja cukup bagiku. Aku ingat betul setiap hari menunggumu di depan pintu kelas, karena biasanya jam pelajaran kelasku yang lebih dahulu berakhir. Sambil menunggumu di bibir pintu, aku mulai memikirkan apa yang akan kita lakukan sepulang sekolah.
Sepulang sekolah, tak pernah langkah ini langsung menuju rumah. Biasanya kita akan berlama-lama bermain di pinggir sungai yang dulu airnya masih sangat jernih. Bahkan ikan-ikan yang berlalu bersama arus saja menjadi tontonan yang menarik. Setiap hari Kamis, kita akan singgah di minimarket di persimpangan jalan menuju rumah, membeli es krimkesukaanmu adalah rasa stroberilalu duduk berdua di bangku kayu di depan minimarket dan menghabiskan es krim sambil mengobrol. Pernah juga sesekali kita hanya membeli satu es krim dan memakannya berdua, karena uang jajanku yang selalu bergantung pada uang yang didapatkan ayah dari hasil berjualan Takoyaki* terkadang tak lagi cukup untuk sebatang es krim.
Saat umur kita baru satu dekade, di musim gugur waktu itu, badai besar terjadi dan merusak jembatan penghubung rumah dan sekolah. Kita terpaksa berangkat dan pulang sekolah dengan menapaki batu-batu besar yang disusun sepanjang garis sungai untuk menyeberang. Beruntung terkadang orangtuamu tak terlalu sibuk untuk mengantar dan menjemputmu—dan aku—dengan mobil pick-up yang pada saat itu hanya beberapa orang di desa saja yang punya, termasuk orangtuamu.
Dulu, pertama kali menyeberangi sungai, aku selalu ketakutan. Melihat arus deras yang kadang-kadang membasahi sol sepatuku saja sudah membuatku gentar. Tapi kau selalu kukenal sebagai bocah pemberani. Dengan sigap, kaki-kaki jenjangmu menyusuri sungai. Punggungmu yang sedari dulu menjulang tegap selalu berada selangkah di depanku.
"Yuki! Pelan-pelan, dong!" Aku selalu menggerutu kesal setiap kali aku kau tinggal di tengah-tengah air sungai yang kecokelatan karena bercampur lumpur akibat badai di malam sebelumnya. Asal kau tahu saja, hari itu aku benar-benar ketakutan.
Kau berbalik badan menghadapku dan tergelak. "Masa begini saja kau takut?"
Aku hanya diam dan memasang raut masam. Tanganku kulipat di dada, pertanda bahwa aku sedang kesal.
Kau hanya tersenyum melihatku. Beberapa saat kemudian kau berjalan menghampiriku dan mengulurkan tanganmu.
"Sini." Katamu.
"Eh?"
Hari itu, musim gugur tahun 2007, untuk pertama kalinya dalam hidupku, menggenggam erat tanganmu yang nyaris dua kali lebih besar daripada ukuran kepalanku. Mungkin saat itu aku masih terlalu polos untuk memahami arti deru jantung yang menggebu, tapi mulai saat itu aku selalu tahu bahwa kau adalah orang yang akan kucari setiap kali hidup tak berjalan sesuai dengan kehendak hati.
***
Setahun berlalu. Tahun pertama kita berumur belasan. Sebelas tahun, ya? Saat itu, kita merasa masih terlalu muda untuk menjajaki kehidupan orang dewasa, tapi cukup dewasa untuk panggilan 'bocah'. Remaja? Entahlah. Yang kuingat, umur belasan adalah masa di mana kita merasa mampu menggenggam dunia, atau runtuh bersamanya.
Setahun berlalu sejak badai besar yang memutus jembatan utama di desa. Jembatan sudah diperbaiki dan kembali ramai sejak beberapa bulan yang lalu. Walaupun begitu, kebiasaan kita melompati bebatuan di sungai untuk menyeberang tak lagi bisa dihilangkan. Setiap senja, berdiri di atas batu besar di tengah sungai sambil melihat matahari terbenam adalah kegiatan kesukaan kita berdua. Well, walaupun aku yakin hanya aku yang benar-benar menikmatinya. Karena aku paham betul bahwa sifatmu sangat maskulin dan menyukai hal-hal menantang seperti berlomba lari menyeberangi sungai, tak peduli sepatu dan ujung seragam yang basah terciprat air.
Untungnya, kini aku tak takut lagi. Setiap kali jiwa petualangmu sedang menggebu, aku selalu turut berlari bersamamu, melompati bebatuan kokoh itu. Tak kuhiraukan lagi riak yang menderu. Karena aku tahu setiap tubuhku goyah, akan selalu ada dirimu, Yuki, teman terbaikku, yang akan menopangku.
Hal lucunya adalah, dengan sifat maskulinmu itu, kau ternyata menyukai bunga. Tak terhitung berapa jenis bunga di tepi jalan atau di tepi sungai yang kau hapal namanya. Mulai dari bunga Dandelion, hingga bunga-bunga yang bahkan hingga kini masih terdengar asing di telingaku. Caramu memperkenalkan bunga-bunga itu seperti sebelas tahun usiamu kau habiskan untuk mempelajari mereka.
Ah, iya, kalau diingat-ingat, aku lebih dulu berumur sebelas. Sepuluh bulan kemudian, barulah kau menyusul.
Hari itu, bulan Desember. "Mia, libur semester ini kita main ke mana?" tanyamu saat pulang sekolah di hari terakhir sekolah sebelum libur natal dan tahun baru.
Aku menghentikan langkahku dan menunduk. Tak tahu apa jawaban yang tepat agar kau tak sakit hati atau marah.
Mendengar tak ada lagi suara langkah, kau berbalik. Kita saling bertatapan dari jarak beberapa meter. "Kenapa?" Tanyamu.
Aku menggeleng. Melihat itu, alis kananmu naik, bingung. Aku mengedikkan bahu berpura-pura tak tahu.
Beberapa detik berlalu. Kau masih berdiri berselang sekitar empat atau lima buah batu lompatan di hadapanku. Kita masih saling diam. Entah karena tak tahu membahas apa atau mulai menikmati suara riak yang mengalirkan lagu senja.
.......
"Ayo, cepat pulang. Sudah hampir malam." Aku berlari ke arahmu, menggandeng tanganmu dan membimbingmu menuju seberang sungai. Itu kali pertama aku berjalan di depanmu. Padahal biasanya pandanganku selalu dipagari punggung lebarmu itu.
***
(Sudut Pandang Yuki)
Liburan berlalu tanpa kita saling bicara. Bertemu denganmu saja nyaris seperti ingin bertemu artis ibukota. Susah sekali. Entahlah, rasanya kau seperti menghindariku.
Terang saja aku merasa seperti itu. Setiap hari selama liburan aku selalu datang ke rumahmu, hanya untuk pulang dengan wajah kecewa ketika adikmu bilang kau tak ada di rumah. Padahal jelas-jelas sepasang sandal jepit mungil yang selalu kau pakai ada di depan pintu masuk. Apakah aku sebodoh itu untuk percaya bahwa kau keluar rumah dengan bertelanjang kaki? Tentu saja tidak.
Kecurigaanku terbukti di hari ketujuh. Aku sengaja tak langsung pulang ketika adikmu, Haru, bilang kau tak di rumah. Entah kenapa hari itu aku yakin kau akan muncul, makanya aku menunggu di depan pintu rumahmu selama hampir setengah jam.
Benar saja. Aku bisa melihat kepalamu melongok dari balik tembok. Untuk melihatku sudah pulang atau belum? Tentu saja belum. Aku sedang menunggumu, bodoh!
"Mia!" aku berteriak memanggilmu. Kau yang terkejut sontak berbalik badan dan menghilang dari balik tembok, lalu yang terdengar adalah derap langkah kakimu yang berlari sembunyi dariku.
Benar-benar menyebalkan. Padahal aku sudah merencanakan liburan terbaik bersamamu. Padahal aku sangat ingin menunjukkan karangan Winter Jasmine yang baru saja mekar di halaman belakang rumahku. Bahkan aku sudah memaksa ayahku untuk mengijinkanku membawamu ikut serta berlibur selama tiga hari ke rumah nenek di Prefektur Ehime, Shikoku. Dan kau malah merusak semuanya. Entah kesalahan apa yang sudah kulakukan.
***
(Sudut pandang Author)
Libur natal terburuk dalam hidup Yuki baru saja berakhir. Dengan rasa malas yang menumpuk berat di bahunya, ia menyeretkan langkahnya di jalanan berbatu menuju sekolah. Hari ini ayahnya tak bisa mengantar, karena harus mengangkut nyaris satu truk buah Apel untuk dijual ke Kota.
Yuki juga tak lagi menunggu Mia untuk berangkat bersama-sama seperti biasanya. Takut akan kecewa lagi bila bocah itu menghindarinya.
'masih awal semester saja aku sudah malas begini' pikirnya.
Kepalanya tertunduk pada kerikil-kerikil yang akan mengeluarkan suara ketika saling bergesekan dengan satu sama lain. Sesekali ia melampiaskan kekesalannya dengan menendang kerikil-kerikil yang bertebaran di jalan setapak itu.
***
Beberapa menit sebelum bel pulang, Yuki tak bisa mengalihkan pandangannya dari bibir pintu. Berharap akan melihat Mia dengan ransel merah jambunya yang sedang menunggunya di depan pintu untuk mengajaknya pulang bersama seperti biasa.
Namun tepat seperti dugaannya, teman kecilnya itu tak ada di sana. Padahal ia yakin hari itu Mia tak membolos, karena saat istirahat tadi Yuki melewati kelasnya dan melihatnya dari celah jendela. Ia sendirian. Entah apa yang dikerjakannya. Yang jelas ia terlihat sedang berkutat dengan alat tulis dan selembar kertas yang disobek dari bukunya. Tak berani untuk menyapa, Yuki hanya berlalu dengan gontai.
Setelah jam sekolah berakhir dan menyadari hari mulai sore, Yuki akhirnya memutuskan untuk pulang sendirian. Tak dihiraukannya ajakan Taki dan Yuuto untuk pulang bersama. Ia malah menunggu Mia yang tak kunjung muncul.
***
(Sudut pandang Mia)
Libur semester yang terasa seperti neraka akhirnya berlalu. Kalau kuingat-ingat, sudah beberapa minggu berlalu sejak terakhir kali bersamamu. Seperti mau mati saja rasanya. Aku merindukanmu, tentu saja. Kuharap nanti kau akan mengerti alasanku menghindarimu selama beberapa minggu terakhir. Semoga kau tak marah padaku. Uh, sebenarnya kalau kau marah pun aku mengerti, karena aku menghindarimu terlalu tiba-tiba dan tanpa alasan.
Sore ini, aku memberanikan diri mengajakmu pulang sekolah bersama.
"....." kau hanya terdiam. Dari ekspresimu saja sudah dapat kubaca kalau kau kaget bukan main.
"ayo makan es krim. Aku yang traktir." Kataku sambil kemudian berlalu dan diikuti olehmu.
Seperti biasa, kau memilih es krim stroberi, dan aku selalu lebih menyukai sensasi rasa coklat di indra perasaku. Kita lalu duduk di bangku kayu di depan minimarket dan menghabiskan es krim dalam diam. Sejujurnya suasana seperti ini membuatku sangat tak nyaman, namun tak ada satupun di antara kita yang berniat memecah keheningan, sampai pada akhirnya pandangan kita bertemu. Aku nyaris saja tersedak.
"Kenapa kau menghindariku?" aku tak kaget mendengar pertanyaanmu, karena sedari tadi memang aku menunggu pertanyaan itu.
Tak menjawab, lantas kurogoh tas sekolahku dan mengeluarkan sebuah kotak berbungkus kertas kado biru muda.
"Untukmu"
"...."
"Selama liburan, aku bantu ayah berjualan. Uang jajanku kutabung untuk membelikanmu ini.
Tanjoubi Omedettou, Yuki-chan!"*
Mungkin tak kau sadari, namun saat itu hormon adrenalinku bagai menerjang kuat, membuat jantungku berdegup kencang, keringat mengalir deras, dan tanganku bahkan bergetar hebat.
Reaksi yang tak pernah kubayangkan darimu adalah kau menangis sambil memelukku erat seperti yang kau lakukan sekarang. Aku tak tahu harus membalas pelukanmu atau apa. Yang jelas itu adalah pertama kali bagiku. Pertama kali dipeluk olehmu.
"Terimakasih, Mia! Kau memang teman terbaikku."
Esok paginya, kau menjemputku ke rumah untuk berangkat sekolah bersama.
"Ini, untukmu. Sebagai ucapan terimakasih untuk yang kemarin."
Aku tak pernah tahu kau bisa tersenyum selebar itu. Imut sekali. Apalagi dengan karangan bunga kuning yang tengah kau pegang itu, membuatmu terlihat begitu cerah di cuaca pergantian musim dingin ke musim gugur yang sedikit kelabu.
"Ini namanya Winter Jasmine. Biasanya mekar di pertengahan hingga akhir musim dingin. Kata ibuku, ini keajaiban karena mereka bisa bertahan hingga awal musim semi seperti ini! Warna kuningnya sangat kontras dengan suasana langit musim dingin, 'kan? Padahal aku ingin menunjukkannya padamu sejak liburan kemarin, tapi kau malah menjauhiku seperti itu! Kejam sekali!"
Aku terkekeh geli. Kau memang selalu bersemangat ketika membahas bunga, ya.
***
Setelah berusia lima belas, semuanya masih sama. Kita masih sedekat dulu. Hanya saja, mungkin perasaanku padamu yang berubah. Kurasa masih terlalu dini untuk menghakimi diri bahwa aku sedang jatuh cinta, namun untuk sekedar rasa sayang terhadap teman, kurasa ini sudah berlebihan.
Aku tak ingat kapan persisnya aku mulai menyukaimu. Entah karena belakangan ini kita lebih sering 'bersentuhan', atau karena fakta tak terelakkan bahwa pubertas merubahmu menjadi sosok lelaki tampan pujaan semua murid perempuan.
Kau ingat hari pertama kita masuk SMP? Kita lagi-lagi sekolah di sekolah yang sama, dan lagi-lagi di kelas yang berbeda. Hal ini tentu saja karena hanya ada satu sekolah dengan tingkatan tertentu di desa kita.
Tak butuh waktu lama, kau langsung dikerumuni banyak teman-teman baru. Berbeda denganku yang hanya punya satu teman baik, dirimu, Yuki.
Kau tahu betapa aku merasa menjadi seseorang yang berarti saat kau mengenalkanku pada temanmu sebagai orang yang paling berharga bagimu? Aku kurang mahir mendeskripsikan sesuatu, namun rasanya seperti melambung tinggi di angkasa.
Di usia lima belas, aku menyadari bahwa kini dengan melihat sosok jangkungmu yang nyaris setinggi 170 sentimeter saja sudah membuatku serasa disengat listrik ribuan Volt. Apalagi dengan kebiasaan barumu yang belakangan ini sering merangkulku setiap kita berjalan beriringan. Terkadang aku merasa bahwa kau sengaja melakukannya untuk menggodaku. Tapi tentu saja tidak.
Semester genap 2012, Aku, Hirakawa Rinka, jatuh cinta untuk pertama kalinya. Dan yang membuat segalanya memburuk adalah kenyataan bahwa cinta pertamaku adalah sahabat terbaikku, Yuki.
***
Dua tahun berlalu. Seharusnya umur tujuh belas adalah saat terbaik bagi seorang remaja. Saat terbaik untuk merasakan cinta, persahabatan, dan kebebasan memilih yang diinginkan. Tapi bagaimana aku harus memilih antara cinta atau persahabatan ketika orang yang aku cintai adalah sahabatku sendiri?
Dua tahun berlalu. Aku sudah berusaha mati-matian untuk mengenyampingkan perasaanku, karena aku tahu, suatu saat perasaanku ini pasti akan merusak persahabatan kita. Namun kenyataannya, aku masih saja berjibaku dengan cinta yang bertepuk sebelah tangan ini setelah begitu lama.
Beberapa minggu yang lalu, gosip beredar bahwa kini kau mendapatkan seorang pacar. Kuroki Sakura, teman sekelasku yang jelas-jelas tahu aku sudah lebih dulu menyukaimu sejak lama. Kau punya pacar dan aku malah mengetahuinya dari gosip yang beredar, bukan dari mulutmu sendiri. Aku tak tahu harus dengan cara apa mendeskripsikan rasa sakitnya.
Seringkali dengan alasan 'karena Sakura...', kau mulai mengurangi waktu bersama kita. Bahkan untuk pulang sekolah bersama saja sekarang menjadi sesuatu yang akan sangat jarang kita lakukan. Tapi tak apa. Kuanggap ini sebagai karma karna dulu aku pernah menghindarimu secara tiba-tiba. Dan kuharap akan ada kejutan setelah ini, seperti kejutanku untukmu dulu.
"Hei, sedang apa di sini?" aku nyaris terlonjak kaget oleh suara serakmu yang tiba-tiba menyapaku. Aku berbalik dan melihatmu. Kau sendirian. Sungguh pemandangan yang sangat jarang terlihat belakangan ini.
"Mana Sakura?" tanyaku. Sedikit menyindir, sebenarnya.
"Kau malah memberikanku pertanyaan lain. Pertanyaanku saja belum kau jawab."
Tanpa perlu kuperintah, kau langsung duduk di sebelahku. Oh, tidak. jangan sedekat ini.
"Pertanyaan yang mana?" Tanyaku sambil sedikit bergeser menjauhimu.
"Segitu kagetnya melihatku sampai kau lupa?" Kau terkekeh geli. Ugh.
"Jadi, mana Sakura?" Tanyaku mengalihkan pembicaraan.
"Aku bukan bodyguardnya, Rinka. Menurutmu aku harus tahu semua hal yang dilakukan olehnya? Mungkin sekarang ia sedang bersama teman-teman sekelasnya. Lagipula, aku tak begitu peduli. Kau sendiri, sedang apa di sini?"
"Menurutmu apa yang biasa dikakukan seseorang di perpustakaan?"
"Hmm... memikirkan aku?"
"Hah?"
Kau tertawa lepas sambil meletakkan tangan di balik punggungku. Bodoh sekali. Kau tidak sadar pengunjung perpustakaan yang lain sedang menatap kesal?
"Tentu saja aku tahu seharusnya kau datang ke sini untuk membaca buku. Tapi kau tidak sedang membaca buku apapun. Dan sejak beberapa menit yang lalu kuperhatikan kau hanya melamun."
Beberapa menit yang lalu, katamu?
"Sejak kapan kau di sini?" aku menolehkan kepalaku dan menatapmu bingung. Tak sampai sedetik, ekspresiku langsung berubah syok. Oh Tuhan, aku lupa dengan jarak duduk kita yang sangat dekat.
Deg..Deg..Deg..
Aku membisu. Kedua pipiku rasanya akan mengeluarkan asap, saking terasa panasnya. Dan disaat seperti ini, kau malah dengan bodohnya memutuskan untuk menatapku dalam-dalam. Lalu aku harus apa? Untuk berbicara saja aku sudah terbata, apalagi untuk mendorongmu menjauh setelah melihat manik mata legammu yang ternyata begitu indah dilihat dari jarak kurang dari sepuluh senti. Jika Sakura melihatnya, matilah aku.
"Rinka-chan, kau tak rindu padaku?"
Apa ini? Apa kau bodoh atau memang sengaja menggodaku?
"...."
Aku mulai risih dengan tatapan 'jangan pacaran di sini' dari para pengunjung lainnya. Refleks kuulurkan tangan, berniat ingin mendorong tubuhmu. Manuver yang salah. Aku merasa mendengar setan-setan tertawa saat melihat tanganku malah mendarat di perpotongan antara leher dan bahumu. Berani bertaruh, hampir seluruh pengunjung lain pasti sedang mengira kami ingin melakukan sesuatu yang aku sendiri tak berani membayangkannya.
Kau tersenyum hangat. Aku tak tahu apa maksudmu, jadi kuputuskan untuk diam dan menunduk saja.
"Ayo nanti pulang sama-sama." Ajakmu.
"Tapi, Sakura..."
Kau mendecak kesal "Tsk. Daritadi yang kau tanyakan hanya dia saja. Kita sudah jarang bertemu, harusnya kau tanya tentang aku!"
Tcih. Gampang sekali bicaramu. Setelah beberapa minggu kau perlakukan aku seperti bukan siapa-siapa bagimu. Setelah kau bertingkah seperti aku ini tidak ada. Lalu kau datang seenaknya dan dengan tanpa rasa bersalah memintaku untuk mengkhawatirkan tentang dirimu?
"Tentu saja aku tanya tentang dia! Dia teman sekelasku. Jangan sampai dia jadi membenciku karena kau dekat-dekat denganku."
"Hahaha, bodoh."
Kau lebih bodoh.
"....."
"Sudah ya, aku mau ke kelas. Jangan lupa, ya, kita pulang sama-sama." Katamu lalu bangkit dan berlalu. Benar-benar seolah tak terjadi apa-apa. Apa hanya aku yang merasa seolah ingin meledak seperti kembang api karena kejadian barusan?
***
Hari itu, musim semi di usia kita yang ketujuh belas. Tepat di jam terakhir sekolah, hujan turun deras tepat di jam terakhir sekolah. Kebalikan dari ramalan cuaca yang bilang cuaca akan cerah. Dan lebih buruknya, aku tak bawa payung.
Dengan murung, aku menyeret langkah menuju kelasmu. Kulihat kau menunggu di bangku koridor. Senyumku mengembang, rasa kesal karena merasa ditipu oleh ramalan cuaca hilang begitu saja.
"Ayo." Kau menarik pergelanganku.
"Kau mau kita menerobos hujan?"
"Aku bawa payung, kok."
Ah, iya, ayahmu adalah petani. Petani selalu bisa menebak cuaca dengan baik. Harusnya aku tak lupa.
Tanpa bicara lagi, kau menarik pergelangan tanganku, lalu kita berjalan beriringan.
Dengan satu payung.
Pundakku sesekali bergesekan dengan lengan kokohmu. Cuaca hari itu dingin, namun hati ini hangat. Jika saja bukan karena Sakura, jika saja perasaanku ini tak salah, mungkin saat itu sudah kunyatakan perasaan yang meluap-luap ini. Rasanya ingin kutumpahkan saja bersama genangan hujan.
"Aku sudah putus dengan Sakura."
Aku terkejut bukan main.
"Kukira aku benar-benar menyukainya. Ternyata setelah aku kenal dia dengan baik, dia bukanlah orang yang tepat."
Aku tak menjawab. Wajahku bisa saja terlihat datar, tapi hatiku bergejolak riuh. Jika saja bukan karena suara hujan yang deras, mungkin degupan bahagia hatiku sudah terdengar olehmu.
Lalu haruskah kunyatakan perasaanku?
Haruskah?
Aku terlalu dalam tenggelam dengan lamunanku, hingga tak menyadari tubuh ini telah basah oleh hujan. Kau berdiri beberapa langkah di hadapanku dengan ekspresi tak terbaca. Lagi-lagi de javu. Melihatmu berdiri di hadapanku mengingatkanku pada senja-senja saat kita menyeberangi sungai bersama. Kau memang selalu berada beberapa langkah di hadapanku.
"Kenapa kau meninggalkanku?!" aku menggerutu kesal dan berlari ke arahmu untuk berteduh.
"Kau dengar kata-kataku sedari tadi, tidak?"
"Yang mana?"
"Tsk. Tentu saja kau tak dengar, kau melamun saja, sih."
"Erm.. maaf" Aku nyengir kuda sambil menggaruk pelipisku.
Lalu kau hanya diam. Manik matamu yang legam tak henti menatapku.
"Apa? Aku kan sudah mint-"
Aku terdiam, tak mampu melanjutkan kalimatku ketika ekspresimu tiba-tiba berubah serius. Di tanganmu tergenggam beberapa batang bunga berwana merah jambu.
"Apa ini?" Aku bertanya bingung.
"Ini namanya Zinnia. Kau tahu, 'kan ibuku suka berkebun?"
"Hmmm...Tentu saja. Aku masih ingat betul setiap kali ke rumahmu selalu saja diperkenalkan dengan bunga-bunga yang entah apa namanya. Lalu kenapa?"
"Ini baru mekar tadi pagi. Mengingatkanku padamu."
"...." Entah. Pikiranku sudah kacau balau.
"Jadi kupetik beberapa untukmu. Kumasukkan dalam segelas air supaya tak layu. Ini, ambillah."
Perjalanan kita menuju rumah berlanjut dalam diam. Hanya suara hujan yang perlahan mereda.
***
Tak terhitung hari yang kita lewati bersama hingga kini berusia delapan belas. Hari ini, hari kelulusan kita, aku sudah membulatkan tekad untuk menyatakan perasaanku. Tak peduli kau akan menolakku atau malah membenciku. Sudah terlalu lelah rasanya menyimpan perasaan ini sendirian bertahun-tahun.
Aku menunggu di balkon kelas, memperhatikanmu dari lantai dua sambil sesekali terkikik melihatmu kewalahan dikerumuni siswa lainnya yang meminta tanda tanganmu di seragam mereka. Aku yakin hari ini kau sudah menerima banyak pengakuan cinta. Kuharap kau belum menerima siapapun. Kumohon, untuk kali ini saja, kuharap timing akan berpihak padaku.
Aku menunggu selama nyaris setengah jam.
Dari sudut tangga lantai dua, aku melihatmu berlari ke arahku. Tak perlu menunggu lama, tiga detik saja, kau sudah berdiri di hadapanku, terengah-engah, seperti baru berlari jauh. Oh, Tuhan, aku tak bisa menggambarkan seberapa besar keinginan untuk menyapu aliran keringat di pelipismu itu.
"Maaf aku terlambat. Aku hampir lupa sudah janji bertemu denganmu di sini. Untung saja aku tak langsung pulang. Hahaha."
Aku hanya terdiam sambil tersenyum kecil. Ah, tentu saja, janji denganku tak sepenting itu untuk kau ingat.
"Kudengar kau peringkat tiga dengan nilai kelulusan terbaik di sekolah? Wah, Hirakawa Rinka memang luar biasa! Selamat, ya!"
Lagi-lagi kata yang paling aku benci jika keluar dari mulutmu. 'Teman'. Baiklah, mari kita akhiri semua ini sekarang.
"Begini, Yuki..." Aku berusaha mengumpulkan semua sisa-sisa keberanian yang ada. Tekadku sudah bulat. Jika bukan hari ini, maka tak ada kesempatan lain untuk mengatakannya.
"Rinka-chan—"
...Dan kau malah memotong kalimatku. Apa kau sudah tahu apa yang ingin kukatakan? Apakah kau sedang berusaha menghentikanku?
"Aku tak bisa lama, sedang ada urusan." Lanjutmu. Oke, aku sudah ditolak mentah-mentah bahkan sebelum menyatakan perasaanku.
"Aku harus pulang sekarang. Ini, untukmu." Kau menyodorkan sepucuk surat dengan bunga tulip putih yang menempel di atasnya. Lalu kau berlalu pergi. Untuk pertama kalinya, melihat punggung lebarmu dari jauh terasa begitu sakit, seperti dihantam beban ribuan ton. Ini... Patah hatikah?
***
Beberapa bulan kembali berlalu. Padahal rasanya baru kemarin kita melewati jalan setapak yang kini sudah dilapisi aspal ini. Kini hanya aku sendiri, dengan entah untuk tujuan apa selalu meluangkan waktu berjalan-jalan di sini. Kudengar kau kuliah di Tokyo. Entahlah, aku tak pernah mendengar kabarmu lagi sejak hari kelulusan.
Aku? Tak usah kau tanyakan. Sulit bagiku melanjutkan pendidikan ke Universitas. Tak perlulah kuceritakan bagaimana terpuruknya ekonomi keluargaku. Untuk mengurus beasiswa saja rasanya aku tak berniat, tak tega harus merantau dan meninggalkan tanggung jawab memenuhi kebutuhan keluarga sepenuhnya pada ayahku.
Suratmu sudah kubaca. Hanya ada satu kata di dalamnya, dan hingga kini aku tak mengerti maksudnya. Padahal bunga tulip putih yang kau tempel di balik amplop itu sudah memberikan harapan tinggi. Maksudku, orang-orang biasanya menyatakan perasaannya dengan bunga, 'kan?
Ah, tapi kalau kuingat-ingat lagi. Kau memang senang memberiku bunga. Kelas dua SMP, kau memberiku satu pot bunga Krisan putih untuk kurawat. Well, walaupun sebulan kemudian mereka layu dan mati karena tak pernah kusiram. Haha.
Pernah juga kau beri aku bunga Zinnia. Lalu yang terakhir adalah tulip.
Oh, apakah bunga rangkaian bunga Kamelia yang kutemukan di laci di hari pertama Ujian Nasional adalah pemberianmu juga?
Tapi bisa kumengerti, sih. Sedari kecil memang kau sudah hidup bersama tumbuhan. Ayahmu seorang petani, ibumu senang berkebun. Jadi, tentu saja aku tak perlu terlalu meninggikan asaku hanya karena kau beri bunga di hari kelulusan kemarin.
Kini, entah dengan cara apa, aku harus melupakan cinta pertamaku yang kupendam selama bertahun-tahun.
***
(Sudut pandang Author)
Satu hal yang tak Rinka pahami. Bunga juga berbahasa. Namun seperti filosofi bunga yang feminim, ia pemalu, maknanya tak pernah tersurat. Padahal semua rasa jelas tertuang di dalamnya.
Rinka tak sadar apa yang diucapkan Yuki pada saat ia melamun di hari hujan saat mereka berjalan pulang sekolah bersama dulu.
"Rinka-chan, hari ini bunga Zinnia milik ibu mekar. Kau tahu arti bunga Zinnia? Artinya 'aku merindukanm'. Kau ini memang sedikit bodoh, ya. Harusnya kau tahu betapa aku rindu menghabiskan waktu bersama denganmu. Beberapa bulan ini kita terlalu sibuk dengan urusan masing-masing, aku bahkan lupa kapan terakhir kali kita bisa ngobrol seperti ini.."
...Atau makna bunga Kamelia yang diselipkan di lacinya saat Ujian Nasional. Rinka tak pernah tahu betapa sulit bagi Yuki untuk bangun dan berangkat sekolah di pagi buta hanya untuk menyelinap ke kelasnya dan terburu-buru menyelipkan rangkaian bunga ke bagian terdalam laci hingga ia lupa menuliskan memo kecil bertuliskan "Ini bunga Kamelia, artinya 'Good Luck'. Semangat ujiannya! ^^"
Ah, ternyata ada banyak hal yang tak disadarinya, entah karena tak peka atau memang bodoh. Satu hal yang membuat pernyataan itu terbukti benar adalah surat terakhir Yuki yang tak pernah dipahaminya bahkan setelah beribu-ribu kali membaca isinya.
"HANAKOTOBA."
Hanya satu kata yang tertulis dalam surat itu. Bahasa bunga. Sesederhana itu. padahal jika saja Rinka sedikit lebih peka untuk mencari tahu arti dari surat itu, mungkin kini ia akan tahu, bunga tulip putih yang diberikan Yuki di hari kelulusan itu memiliki makna "Aku cinta padamu."
***
END

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

ESA CONTEST #7 H-1