[MO]-(cerpen) Hanakotoba by Khairunisa Usman
Hanakotoba
(Sudut pandang Mia)
(Sudut pandang Mia)
Dulu, saat umur kita baru sejumlah jari tangan, menjadi
temanmu saja cukup bagiku. Aku ingat betul setiap hari menunggumu di depan pintu
kelas, karena biasanya jam pelajaran kelasku yang lebih dahulu berakhir. Sambil
menunggumu di bibir pintu, aku mulai memikirkan apa yang akan kita lakukan
sepulang sekolah.
Sepulang sekolah, tak pernah langkah ini langsung menuju
rumah. Biasanya kita akan berlama-lama bermain di pinggir sungai yang dulu
airnya masih sangat jernih. Bahkan ikan-ikan yang berlalu bersama arus saja
menjadi tontonan yang menarik. Setiap hari Kamis, kita akan singgah di
minimarket di persimpangan jalan menuju rumah, membeli es krim—kesukaanmu adalah rasa
stroberi—lalu duduk berdua di bangku kayu di depan minimarket dan menghabiskan es
krim sambil mengobrol. Pernah juga sesekali kita hanya membeli satu es krim dan
memakannya berdua, karena uang jajanku yang selalu bergantung pada uang yang
didapatkan ayah dari hasil berjualan Takoyaki* terkadang tak lagi cukup untuk sebatang es krim.
Saat umur kita baru satu dekade, di musim gugur waktu itu, badai besar terjadi dan
merusak jembatan penghubung rumah dan sekolah. Kita terpaksa berangkat dan
pulang sekolah dengan menapaki batu-batu besar yang disusun sepanjang garis
sungai untuk menyeberang. Beruntung terkadang orangtuamu tak terlalu sibuk
untuk mengantar dan menjemputmu—dan aku—dengan mobil pick-up yang pada saat itu
hanya beberapa orang di desa saja yang punya, termasuk orangtuamu.
Dulu, pertama kali menyeberangi sungai, aku selalu
ketakutan. Melihat arus deras yang kadang-kadang membasahi sol sepatuku saja
sudah membuatku gentar. Tapi kau selalu kukenal sebagai bocah pemberani. Dengan
sigap, kaki-kaki jenjangmu menyusuri sungai. Punggungmu yang sedari dulu
menjulang tegap selalu berada selangkah di depanku.
"Yuki! Pelan-pelan, dong!" Aku selalu menggerutu kesal
setiap kali aku kau tinggal di tengah-tengah air sungai yang kecokelatan karena
bercampur lumpur akibat badai di malam sebelumnya. Asal kau tahu saja, hari itu
aku benar-benar ketakutan.
Kau berbalik badan menghadapku dan tergelak. "Masa
begini saja kau takut?"
Aku hanya diam dan memasang raut masam. Tanganku kulipat
di dada, pertanda bahwa aku sedang kesal.
Kau hanya tersenyum melihatku. Beberapa saat kemudian kau
berjalan menghampiriku dan mengulurkan tanganmu.
"Sini." Katamu.
"Eh?"
Hari itu, musim gugur tahun 2007, untuk pertama kalinya
dalam hidupku, menggenggam erat tanganmu yang nyaris dua kali lebih besar
daripada ukuran kepalanku. Mungkin saat itu aku masih terlalu polos untuk
memahami arti deru jantung yang menggebu, tapi mulai saat itu aku selalu tahu bahwa
kau adalah orang yang akan kucari setiap kali hidup tak berjalan sesuai dengan
kehendak hati.
***
Setahun berlalu. Tahun pertama kita berumur belasan.
Sebelas tahun, ya? Saat itu, kita merasa masih terlalu muda untuk menjajaki
kehidupan orang dewasa, tapi cukup dewasa untuk panggilan 'bocah'. Remaja?
Entahlah. Yang kuingat, umur belasan adalah masa di mana kita merasa mampu
menggenggam dunia, atau runtuh bersamanya.
Setahun berlalu sejak badai besar yang memutus jembatan
utama di desa. Jembatan sudah diperbaiki dan kembali ramai sejak beberapa bulan
yang lalu. Walaupun begitu, kebiasaan kita melompati bebatuan di sungai untuk
menyeberang tak lagi bisa dihilangkan. Setiap senja, berdiri di atas batu besar
di tengah sungai sambil melihat matahari terbenam adalah kegiatan kesukaan kita
berdua. Well, walaupun aku yakin hanya aku yang benar-benar menikmatinya.
Karena aku paham betul bahwa sifatmu sangat maskulin dan menyukai hal-hal
menantang seperti berlomba lari menyeberangi sungai, tak peduli sepatu dan ujung
seragam yang basah terciprat air.
Untungnya, kini aku tak takut lagi. Setiap kali jiwa
petualangmu sedang menggebu, aku selalu turut berlari bersamamu, melompati
bebatuan kokoh itu. Tak kuhiraukan lagi riak yang menderu. Karena aku tahu
setiap tubuhku goyah, akan selalu ada dirimu, Yuki, teman terbaikku, yang akan
menopangku.
Hal lucunya adalah, dengan sifat maskulinmu itu, kau
ternyata menyukai bunga. Tak terhitung berapa jenis bunga di tepi jalan atau di
tepi sungai yang kau hapal namanya. Mulai dari bunga Dandelion, hingga
bunga-bunga yang bahkan hingga kini masih terdengar asing di telingaku. Caramu
memperkenalkan bunga-bunga itu seperti sebelas tahun usiamu kau habiskan untuk
mempelajari mereka.
Ah, iya, kalau diingat-ingat, aku lebih dulu berumur sebelas.
Sepuluh bulan kemudian, barulah kau menyusul.
Hari itu, bulan Desember. "Mia, libur semester ini kita main
ke mana?" tanyamu saat pulang sekolah di hari terakhir sekolah sebelum
libur natal dan tahun baru.
Aku menghentikan langkahku dan menunduk. Tak tahu apa
jawaban yang tepat agar kau tak sakit hati atau marah.
Mendengar tak ada lagi suara langkah, kau berbalik. Kita
saling bertatapan dari jarak beberapa meter. "Kenapa?" Tanyamu.
Aku menggeleng. Melihat itu, alis kananmu naik, bingung.
Aku mengedikkan bahu berpura-pura tak tahu.
Beberapa detik berlalu. Kau masih berdiri berselang
sekitar empat atau lima buah batu lompatan di hadapanku. Kita masih saling
diam. Entah karena tak tahu membahas apa atau mulai menikmati suara riak yang
mengalirkan lagu senja.
.......
"Ayo, cepat pulang. Sudah hampir malam." Aku
berlari ke arahmu, menggandeng tanganmu dan membimbingmu menuju seberang
sungai. Itu kali pertama aku berjalan di depanmu. Padahal biasanya pandanganku
selalu dipagari punggung lebarmu itu.
***
(Sudut Pandang Yuki)
Liburan berlalu tanpa kita saling bicara. Bertemu denganmu saja
nyaris seperti ingin bertemu artis ibukota. Susah sekali. Entahlah, rasanya kau
seperti menghindariku.
Terang saja aku merasa seperti itu. Setiap hari selama
liburan aku selalu datang ke rumahmu, hanya untuk pulang dengan wajah kecewa
ketika adikmu bilang kau tak ada di rumah. Padahal jelas-jelas sepasang sandal
jepit mungil yang selalu kau pakai ada di depan pintu masuk. Apakah aku sebodoh
itu untuk percaya bahwa kau keluar rumah dengan bertelanjang kaki? Tentu saja
tidak.
Kecurigaanku terbukti di hari ketujuh. Aku sengaja tak
langsung pulang ketika adikmu, Haru, bilang kau tak di rumah. Entah kenapa
hari itu aku yakin kau akan muncul, makanya aku menunggu di depan pintu rumahmu
selama hampir setengah jam.
Benar saja. Aku bisa melihat kepalamu melongok dari balik
tembok. Untuk melihatku sudah pulang atau belum? Tentu saja belum. Aku sedang
menunggumu, bodoh!
"Mia!" aku berteriak memanggilmu. Kau yang terkejut
sontak berbalik badan dan menghilang dari balik tembok, lalu yang terdengar
adalah derap langkah kakimu yang berlari sembunyi dariku.
Benar-benar menyebalkan. Padahal aku sudah merencanakan
liburan terbaik bersamamu. Padahal aku sangat ingin menunjukkan karangan Winter
Jasmine yang baru saja mekar di halaman belakang rumahku. Bahkan aku sudah
memaksa ayahku untuk mengijinkanku membawamu ikut serta berlibur selama tiga
hari ke rumah nenek di Prefektur Ehime, Shikoku. Dan kau malah merusak semuanya.
Entah kesalahan apa yang sudah kulakukan.
***
(Sudut pandang Author)
Libur natal terburuk dalam hidup Yuki baru saja berakhir. Dengan
rasa malas yang menumpuk berat di bahunya, ia menyeretkan langkahnya di
jalanan berbatu menuju sekolah. Hari ini ayahnya tak bisa mengantar, karena
harus mengangkut nyaris satu truk buah Apel untuk dijual ke Kota.
Yuki juga tak lagi menunggu Mia untuk berangkat bersama-sama
seperti biasanya. Takut akan kecewa lagi bila bocah itu menghindarinya.
'masih awal semester saja aku sudah malas begini' pikirnya.
Kepalanya tertunduk pada kerikil-kerikil yang akan
mengeluarkan suara ketika saling bergesekan dengan satu sama lain. Sesekali ia
melampiaskan kekesalannya dengan menendang kerikil-kerikil yang bertebaran di
jalan setapak itu.
***
Beberapa menit sebelum bel pulang, Yuki tak bisa mengalihkan
pandangannya dari bibir pintu. Berharap akan melihat Mia dengan ransel
merah jambunya
yang sedang menunggunya di depan pintu untuk mengajaknya pulang bersama seperti
biasa.
Namun tepat seperti dugaannya, teman kecilnya itu tak ada
di sana. Padahal ia yakin hari itu Mia tak membolos, karena saat istirahat tadi Yuki melewati kelasnya dan
melihatnya dari celah jendela. Ia sendirian. Entah apa yang dikerjakannya. Yang
jelas ia terlihat sedang berkutat dengan alat tulis dan selembar kertas yang
disobek dari bukunya. Tak berani untuk menyapa, Yuki hanya berlalu dengan gontai.
Setelah jam sekolah berakhir dan menyadari hari mulai
sore, Yuki akhirnya memutuskan untuk pulang sendirian. Tak
dihiraukannya ajakan Taki dan Yuuto untuk pulang bersama. Ia malah menunggu Mia yang tak kunjung muncul.
***
(Sudut pandang Mia)
Libur semester yang terasa seperti neraka akhirnya
berlalu. Kalau kuingat-ingat, sudah beberapa minggu berlalu sejak terakhir kali
bersamamu. Seperti mau mati saja rasanya. Aku merindukanmu, tentu saja. Kuharap
nanti kau akan mengerti alasanku menghindarimu selama beberapa minggu terakhir.
Semoga kau tak marah padaku. Uh, sebenarnya kalau kau marah pun aku mengerti,
karena aku menghindarimu terlalu tiba-tiba dan tanpa alasan.
Sore ini, aku memberanikan diri mengajakmu pulang sekolah
bersama.
"....." kau hanya terdiam. Dari ekspresimu saja
sudah dapat kubaca kalau kau kaget bukan main.
"ayo makan es krim. Aku yang traktir." Kataku
sambil kemudian berlalu dan diikuti olehmu.
Seperti biasa, kau memilih es krim stroberi, dan aku
selalu lebih menyukai sensasi rasa coklat di indra perasaku. Kita lalu duduk di
bangku kayu di depan minimarket dan menghabiskan es krim dalam diam. Sejujurnya
suasana seperti ini membuatku sangat tak nyaman, namun tak ada satupun di
antara kita yang berniat memecah keheningan, sampai pada akhirnya pandangan
kita bertemu. Aku nyaris saja tersedak.
"Kenapa kau menghindariku?" aku tak kaget
mendengar pertanyaanmu, karena sedari tadi memang aku menunggu pertanyaan itu.
Tak menjawab, lantas kurogoh tas sekolahku dan
mengeluarkan sebuah kotak berbungkus kertas kado biru muda.
"Untukmu"
"...."
"Selama liburan, aku bantu ayah berjualan. Uang jajanku
kutabung untuk membelikanmu ini.
Tanjoubi Omedettou, Yuki-chan!"*
Mungkin tak kau sadari, namun saat itu hormon adrenalinku
bagai menerjang kuat, membuat jantungku berdegup kencang, keringat mengalir
deras, dan tanganku bahkan bergetar hebat.
Reaksi yang tak pernah kubayangkan darimu adalah kau
menangis sambil memelukku erat seperti yang kau lakukan sekarang. Aku tak tahu
harus membalas pelukanmu atau apa. Yang jelas itu adalah pertama kali bagiku.
Pertama kali dipeluk olehmu.
"Terimakasih, Mia! Kau memang teman terbaikku."
Esok paginya, kau menjemputku ke rumah untuk berangkat
sekolah bersama.
"Ini, untukmu. Sebagai ucapan terimakasih untuk yang
kemarin."
Aku tak pernah tahu kau bisa tersenyum selebar itu. Imut
sekali. Apalagi dengan karangan bunga kuning yang tengah kau pegang itu,
membuatmu terlihat begitu cerah di cuaca pergantian musim dingin ke musim gugur yang sedikit kelabu.
"Ini namanya Winter Jasmine. Biasanya mekar di
pertengahan hingga akhir musim dingin. Kata ibuku, ini keajaiban karena mereka bisa
bertahan hingga awal musim semi seperti ini! Warna kuningnya sangat kontras dengan
suasana langit musim dingin, 'kan? Padahal aku ingin menunjukkannya padamu
sejak liburan kemarin, tapi kau malah menjauhiku seperti itu! Kejam
sekali!"
Aku terkekeh geli. Kau memang selalu bersemangat ketika
membahas bunga, ya.
***
Setelah berusia lima belas, semuanya masih sama. Kita
masih sedekat dulu. Hanya saja, mungkin perasaanku padamu yang berubah. Kurasa
masih terlalu dini untuk menghakimi diri bahwa aku sedang jatuh cinta, namun
untuk sekedar rasa sayang terhadap teman, kurasa ini sudah berlebihan.
Aku tak ingat kapan persisnya aku mulai menyukaimu. Entah
karena belakangan ini kita lebih sering 'bersentuhan', atau karena fakta tak
terelakkan bahwa pubertas merubahmu menjadi sosok lelaki tampan pujaan semua
murid perempuan.
Kau ingat hari pertama kita masuk SMP? Kita lagi-lagi
sekolah di sekolah yang sama, dan lagi-lagi di kelas yang berbeda. Hal ini
tentu saja karena hanya ada satu sekolah dengan tingkatan tertentu di desa
kita.
Tak butuh waktu lama, kau langsung dikerumuni banyak
teman-teman baru. Berbeda denganku yang hanya punya satu teman baik, dirimu, Yuki.
Kau tahu betapa aku merasa menjadi seseorang yang berarti
saat kau mengenalkanku pada temanmu sebagai orang yang paling berharga bagimu?
Aku kurang mahir mendeskripsikan sesuatu, namun rasanya seperti melambung
tinggi di angkasa.
Di usia lima belas, aku menyadari bahwa kini dengan
melihat sosok jangkungmu yang nyaris setinggi 170 sentimeter saja sudah
membuatku serasa disengat listrik ribuan Volt. Apalagi dengan kebiasaan barumu yang belakangan ini
sering merangkulku setiap kita berjalan beriringan. Terkadang aku merasa bahwa
kau sengaja melakukannya untuk menggodaku. Tapi tentu saja tidak.
Semester genap 2012, Aku, Hirakawa Rinka, jatuh cinta untuk pertama kalinya.
Dan yang membuat segalanya memburuk adalah kenyataan bahwa cinta pertamaku adalah
sahabat terbaikku, Yuki.
***
Dua tahun berlalu. Seharusnya umur tujuh belas adalah
saat terbaik bagi seorang remaja. Saat terbaik untuk merasakan cinta,
persahabatan, dan kebebasan memilih yang diinginkan. Tapi bagaimana aku harus
memilih antara cinta atau persahabatan ketika orang yang aku cintai adalah
sahabatku sendiri?
Dua tahun berlalu. Aku sudah berusaha mati-matian untuk
mengenyampingkan perasaanku, karena aku tahu, suatu saat perasaanku ini pasti
akan merusak persahabatan kita. Namun kenyataannya, aku masih saja berjibaku
dengan cinta yang bertepuk sebelah tangan ini setelah begitu lama.
Beberapa minggu yang lalu, gosip beredar bahwa kini kau
mendapatkan seorang pacar. Kuroki Sakura, teman sekelasku yang jelas-jelas
tahu aku sudah lebih dulu menyukaimu sejak lama. Kau punya pacar dan aku malah
mengetahuinya dari gosip yang beredar, bukan dari mulutmu sendiri. Aku tak tahu
harus dengan cara apa mendeskripsikan rasa sakitnya.
Seringkali dengan alasan 'karena Sakura...', kau mulai mengurangi
waktu bersama kita. Bahkan untuk pulang sekolah bersama saja sekarang menjadi
sesuatu yang akan sangat jarang kita lakukan. Tapi tak apa. Kuanggap ini
sebagai karma karna dulu aku pernah menghindarimu secara tiba-tiba. Dan kuharap
akan ada kejutan setelah ini, seperti kejutanku untukmu dulu.
"Hei, sedang apa di sini?" aku nyaris terlonjak
kaget oleh suara serakmu yang tiba-tiba menyapaku. Aku berbalik dan melihatmu.
Kau sendirian. Sungguh pemandangan yang sangat jarang terlihat belakangan ini.
"Mana Sakura?" tanyaku. Sedikit menyindir, sebenarnya.
"Kau malah memberikanku pertanyaan lain.
Pertanyaanku saja belum kau jawab."
Tanpa perlu kuperintah, kau langsung duduk di sebelahku.
Oh, tidak. jangan sedekat ini.
"Pertanyaan yang mana?" Tanyaku sambil sedikit
bergeser menjauhimu.
"Segitu kagetnya melihatku sampai kau lupa?"
Kau terkekeh geli. Ugh.
"Jadi, mana Sakura?" Tanyaku mengalihkan pembicaraan.
"Aku bukan bodyguardnya, Rinka. Menurutmu aku harus tahu
semua hal yang dilakukan olehnya? Mungkin sekarang ia sedang bersama
teman-teman sekelasnya. Lagipula, aku tak begitu peduli. Kau sendiri, sedang
apa di sini?"
"Menurutmu apa yang biasa dikakukan seseorang di
perpustakaan?"
"Hmm... memikirkan aku?"
"Hah?"
Kau tertawa lepas sambil meletakkan tangan di balik
punggungku. Bodoh sekali. Kau tidak sadar pengunjung perpustakaan yang lain
sedang menatap kesal?
"Tentu saja aku tahu seharusnya kau datang ke sini
untuk membaca buku. Tapi kau tidak sedang membaca buku apapun. Dan sejak
beberapa menit yang lalu kuperhatikan kau hanya melamun."
Beberapa menit yang lalu, katamu?
"Sejak kapan kau di sini?" aku menolehkan
kepalaku dan menatapmu bingung. Tak sampai sedetik, ekspresiku langsung berubah
syok. Oh Tuhan, aku lupa dengan jarak duduk kita yang sangat dekat.
Deg..Deg..Deg..
Aku membisu. Kedua pipiku rasanya akan mengeluarkan asap,
saking terasa panasnya. Dan disaat seperti ini, kau malah dengan bodohnya
memutuskan untuk menatapku dalam-dalam. Lalu aku harus apa? Untuk berbicara
saja aku sudah terbata, apalagi untuk mendorongmu menjauh setelah melihat manik
mata legammu yang ternyata begitu indah dilihat dari jarak kurang dari sepuluh
senti. Jika Sakura melihatnya, matilah aku.
"Rinka-chan, kau tak rindu padaku?"
Apa ini? Apa kau bodoh atau memang sengaja menggodaku?
"...."
Aku mulai risih dengan tatapan 'jangan pacaran di sini'
dari para pengunjung lainnya. Refleks kuulurkan tangan, berniat ingin mendorong
tubuhmu. Manuver yang salah. Aku merasa mendengar setan-setan tertawa saat melihat
tanganku malah mendarat di perpotongan antara leher dan bahumu. Berani
bertaruh, hampir seluruh pengunjung lain pasti sedang mengira kami ingin
melakukan sesuatu yang aku sendiri tak berani membayangkannya.
Kau tersenyum hangat. Aku tak tahu apa maksudmu, jadi
kuputuskan untuk diam dan menunduk saja.
"Ayo nanti pulang sama-sama." Ajakmu.
"Tapi, Sakura..."
Kau mendecak kesal "Tsk. Daritadi yang kau tanyakan
hanya dia saja. Kita sudah jarang bertemu, harusnya kau tanya tentang
aku!"
Tcih. Gampang sekali bicaramu. Setelah beberapa minggu
kau perlakukan aku seperti bukan siapa-siapa bagimu. Setelah kau bertingkah
seperti aku ini tidak ada. Lalu kau datang seenaknya dan dengan tanpa rasa
bersalah memintaku untuk mengkhawatirkan tentang dirimu?
"Tentu saja aku tanya tentang dia! Dia teman
sekelasku. Jangan sampai dia jadi membenciku karena kau dekat-dekat
denganku."
"Hahaha, bodoh."
Kau lebih bodoh.
"....."
"Sudah ya, aku mau ke kelas. Jangan lupa, ya, kita
pulang sama-sama." Katamu lalu bangkit dan berlalu. Benar-benar seolah tak
terjadi apa-apa. Apa hanya aku yang merasa seolah ingin meledak seperti kembang
api karena kejadian barusan?
***
Hari itu, musim semi di usia kita yang ketujuh belas.
Tepat di jam terakhir sekolah, hujan turun deras tepat di jam terakhir sekolah.
Kebalikan dari ramalan cuaca yang bilang cuaca akan cerah. Dan lebih buruknya,
aku tak bawa payung.
Dengan murung, aku menyeret langkah menuju kelasmu.
Kulihat kau menunggu di bangku koridor. Senyumku mengembang, rasa kesal karena
merasa ditipu oleh ramalan cuaca hilang begitu saja.
"Ayo." Kau menarik pergelanganku.
"Kau mau kita menerobos hujan?"
"Aku bawa payung, kok."
Ah, iya, ayahmu adalah petani. Petani selalu bisa menebak
cuaca dengan baik. Harusnya aku tak lupa.
Tanpa bicara lagi, kau menarik pergelangan tanganku, lalu
kita berjalan beriringan.
Dengan satu payung.
Pundakku sesekali bergesekan dengan lengan kokohmu. Cuaca
hari itu dingin, namun hati ini hangat. Jika saja bukan karena Sakura, jika saja perasaanku
ini tak salah,
mungkin saat itu sudah kunyatakan perasaan yang meluap-luap ini. Rasanya ingin
kutumpahkan saja bersama genangan hujan.
"Aku sudah putus dengan Sakura."
Aku terkejut bukan main.
"Kukira aku benar-benar menyukainya. Ternyata
setelah aku kenal dia dengan baik, dia bukanlah orang yang tepat."
Aku tak menjawab. Wajahku bisa saja terlihat datar, tapi
hatiku bergejolak riuh. Jika saja bukan karena suara hujan yang deras, mungkin
degupan bahagia hatiku sudah terdengar olehmu.
Lalu haruskah kunyatakan perasaanku?
Haruskah?
Aku terlalu dalam tenggelam dengan lamunanku, hingga tak
menyadari tubuh ini telah basah oleh hujan. Kau berdiri beberapa langkah di
hadapanku dengan ekspresi tak terbaca. Lagi-lagi de javu. Melihatmu berdiri di
hadapanku mengingatkanku pada senja-senja saat kita menyeberangi sungai
bersama. Kau memang selalu berada beberapa langkah di hadapanku.
"Kenapa kau meninggalkanku?!" aku menggerutu
kesal dan berlari ke arahmu untuk berteduh.
"Kau dengar kata-kataku sedari tadi, tidak?"
"Yang mana?"
"Tsk. Tentu saja kau tak dengar, kau melamun saja,
sih."
"Erm.. maaf" Aku nyengir kuda sambil menggaruk
pelipisku.
Lalu kau hanya diam. Manik matamu yang legam tak henti
menatapku.
"Apa? Aku kan sudah mint-"
Aku terdiam, tak mampu melanjutkan kalimatku ketika
ekspresimu tiba-tiba berubah serius. Di tanganmu tergenggam beberapa batang
bunga berwana merah jambu.
"Apa ini?" Aku bertanya bingung.
"Ini namanya Zinnia. Kau tahu, 'kan ibuku suka
berkebun?"
"Hmmm...Tentu saja. Aku masih ingat betul setiap
kali ke rumahmu selalu saja diperkenalkan dengan bunga-bunga yang entah apa
namanya. Lalu kenapa?"
"Ini baru mekar tadi pagi. Mengingatkanku
padamu."
"...." Entah. Pikiranku sudah kacau balau.
"Jadi kupetik beberapa untukmu. Kumasukkan dalam
segelas air supaya tak layu. Ini, ambillah."
Perjalanan kita menuju rumah berlanjut dalam diam. Hanya
suara hujan yang perlahan mereda.
***
Tak terhitung hari yang kita lewati bersama hingga kini
berusia delapan belas. Hari ini, hari kelulusan kita, aku sudah membulatkan
tekad untuk menyatakan perasaanku. Tak peduli kau akan menolakku atau malah
membenciku. Sudah terlalu lelah rasanya menyimpan perasaan ini sendirian
bertahun-tahun.
Aku menunggu di balkon kelas, memperhatikanmu dari lantai
dua sambil sesekali terkikik melihatmu kewalahan dikerumuni siswa lainnya yang
meminta tanda tanganmu di seragam mereka. Aku yakin hari ini kau sudah menerima
banyak pengakuan cinta. Kuharap kau belum menerima siapapun. Kumohon, untuk
kali ini saja, kuharap timing akan
berpihak padaku.
Aku menunggu selama nyaris setengah jam.
Dari sudut tangga lantai dua, aku melihatmu berlari ke
arahku. Tak perlu menunggu lama, tiga detik saja, kau sudah berdiri di
hadapanku, terengah-engah, seperti baru berlari jauh. Oh, Tuhan, aku tak bisa
menggambarkan seberapa besar keinginan untuk menyapu aliran keringat di pelipismu itu.
"Maaf aku terlambat. Aku hampir lupa sudah janji
bertemu denganmu di sini. Untung saja aku tak langsung pulang. Hahaha."
Aku hanya terdiam sambil tersenyum kecil. Ah, tentu saja,
janji denganku tak sepenting itu untuk kau ingat.
"Kudengar kau peringkat tiga dengan nilai kelulusan
terbaik di sekolah? Wah, Hirakawa Rinka memang luar biasa! Selamat, ya!"
Lagi-lagi kata yang paling aku benci jika keluar dari
mulutmu. 'Teman'. Baiklah, mari kita akhiri semua ini sekarang.
"Begini, Yuki..." Aku berusaha mengumpulkan semua sisa-sisa
keberanian yang ada. Tekadku sudah bulat. Jika bukan hari ini, maka tak ada
kesempatan lain untuk mengatakannya.
"Rinka-chan—"
...Dan kau malah memotong kalimatku. Apa kau sudah tahu
apa yang ingin kukatakan? Apakah kau sedang berusaha menghentikanku?
"Aku tak bisa lama, sedang ada urusan."
Lanjutmu. Oke, aku sudah ditolak mentah-mentah bahkan sebelum menyatakan
perasaanku.
"Aku harus pulang sekarang. Ini, untukmu." Kau
menyodorkan sepucuk surat dengan bunga tulip putih yang menempel di atasnya.
Lalu kau berlalu pergi. Untuk pertama kalinya, melihat punggung lebarmu dari
jauh terasa begitu sakit, seperti dihantam beban ribuan ton. Ini... Patah hatikah?
***
Beberapa bulan kembali berlalu. Padahal rasanya baru
kemarin kita melewati jalan setapak yang kini sudah dilapisi aspal ini. Kini
hanya aku sendiri, dengan entah untuk tujuan apa selalu meluangkan waktu
berjalan-jalan di sini. Kudengar kau kuliah di Tokyo. Entahlah, aku tak pernah
mendengar kabarmu lagi sejak hari kelulusan.
Aku? Tak usah kau tanyakan. Sulit bagiku melanjutkan
pendidikan ke Universitas. Tak perlulah kuceritakan bagaimana terpuruknya
ekonomi keluargaku. Untuk mengurus beasiswa saja rasanya aku tak berniat, tak
tega harus merantau dan meninggalkan tanggung jawab memenuhi kebutuhan keluarga
sepenuhnya pada ayahku.
Suratmu sudah kubaca. Hanya ada satu kata di dalamnya,
dan hingga kini aku tak mengerti maksudnya. Padahal bunga tulip putih yang kau
tempel di balik amplop itu sudah memberikan harapan tinggi. Maksudku,
orang-orang biasanya menyatakan perasaannya dengan bunga, 'kan?
Ah, tapi kalau kuingat-ingat lagi. Kau memang senang
memberiku bunga. Kelas dua SMP, kau memberiku satu pot bunga Krisan putih untuk
kurawat. Well, walaupun sebulan kemudian mereka layu dan mati karena tak pernah
kusiram. Haha.
Pernah juga kau beri aku bunga Zinnia. Lalu yang terakhir
adalah tulip.
Oh, apakah bunga rangkaian bunga Kamelia yang kutemukan
di laci di hari pertama Ujian Nasional adalah pemberianmu juga?
Tapi bisa kumengerti, sih. Sedari kecil memang kau sudah
hidup bersama tumbuhan. Ayahmu seorang petani, ibumu senang berkebun. Jadi,
tentu saja aku tak perlu terlalu meninggikan asaku hanya karena kau beri bunga di
hari kelulusan kemarin.
Kini, entah dengan cara apa, aku harus melupakan cinta
pertamaku yang kupendam selama bertahun-tahun.
***
(Sudut pandang Author)
Satu hal yang tak Rinka pahami. Bunga juga berbahasa. Namun seperti filosofi
bunga yang feminim, ia pemalu, maknanya tak pernah tersurat. Padahal semua rasa
jelas tertuang di dalamnya.
Rinka tak sadar apa yang diucapkan Yuki pada saat ia melamun di hari
hujan saat mereka berjalan pulang sekolah bersama dulu.
"Rinka-chan, hari ini bunga Zinnia milik ibu mekar. Kau tahu
arti bunga Zinnia? Artinya 'aku merindukanm'. Kau ini memang sedikit bodoh, ya.
Harusnya kau tahu betapa aku rindu menghabiskan waktu bersama denganmu.
Beberapa bulan ini kita terlalu sibuk dengan urusan masing-masing, aku bahkan
lupa kapan terakhir kali kita bisa ngobrol seperti ini.."
...Atau makna bunga Kamelia yang diselipkan di lacinya
saat Ujian Nasional. Rinka tak pernah tahu betapa sulit bagi Yuki untuk bangun dan berangkat
sekolah di pagi buta hanya untuk menyelinap ke kelasnya dan terburu-buru
menyelipkan rangkaian bunga ke bagian terdalam laci hingga ia lupa menuliskan
memo kecil bertuliskan "Ini bunga Kamelia, artinya 'Good Luck'. Semangat
ujiannya! ^^"
Ah, ternyata ada banyak hal yang tak disadarinya, entah
karena tak peka atau memang bodoh. Satu hal yang membuat pernyataan itu
terbukti benar adalah surat terakhir Yuki yang tak pernah dipahaminya bahkan setelah beribu-ribu
kali membaca isinya.
"HANAKOTOBA."
Hanya satu kata yang tertulis dalam surat itu. Bahasa
bunga. Sesederhana itu. padahal jika saja Rinka sedikit lebih peka untuk
mencari tahu arti dari surat itu, mungkin kini ia akan tahu, bunga tulip putih
yang diberikan Yuki di hari kelulusan itu memiliki makna "Aku cinta
padamu."
***
END
🌻
BalasHapus