[ESA CORNER-I] Yang Menetes di Ujung Senja

Yang menetes diujung senja

Nun, demi pena
 dan apa yang tak redam diumpan bara.
sudah dua windu
kutunggu,
tak juga satu
datang surat darimu.
Tak juga rindu
reda dari degubku
apa hanya aku
yang terlalu candu?
adinda,
laut masih berwajah samodra
angin masih belum punya rupa
hujan juga masih hujan yang bermuara
namun kini aku tiada raga
setelah ditikam sepi pada aku punya luka
senja masih semerah semburat api
Aku tetap menjadi
lelaki diujung jalan yang tak pernah dinamai
yang meneteskan segala puisi
dari pena dan lembaran pipi.
se-naif itukah menanti?
Jika terang betul inilah ke-naifan
mengapa pena tak boleh lepas dari aku punya tangan?
kenapa puisi selalu bertengkar dengan kenangan?
apa hanya aku yang begitu haru dalam perenungan?
Maaf aku terlalu banyak membubuhi pertanyaan.
sebab kuakui kenyaataan
bahwa aku selalu dibenturi kekhawatiran
atas pertanyaan-pertanyaan yang terbungkam pelan
dibawah tanah oleh rangka-rangka tanpa nisan.
juga bisa saja puan,
 aku hanya terlalu dalam tenggelam pada kubangan
atas apa yang dinamakan dengan,
 harapan.
Tapi jika benar sebuta ini-lah arti menanti,
aku tak juga sudi mati
 senaif laron yang menghamba pada lampu pijar gas merkuri
berutubuh setengah cahaya setengah api
yang membiarkan diri terampas dan putus nyali
menjadi bangkai tak layak direnungi
mati ditimbuni sepi.
Jika se-kejam inilah sebuah takdir
Aku juga tak sudi kalah seperti air
 yang ditumbal kepada mawar untuk menjadi alir.
dimana ia harus menyentuh duri sebelum kelopak mawar dan menuju pangkal terakhir
Adinda,
Pada penghujung alenia,
ada sebuah pinta dan tanda tanya
 yang datang pada tetes cahaya senja.
Sekarang terangkan aku dengan sederhana,
atas pertanyaan yang lahir oleh aku punya lidah jiwa
...aku harus mencintai-mu dalam penantian yang bagaimana...
adinda?
....Tanda tanya....

                       


                                                            Labirin Dalam gelas, 8 November 17

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ESA CONTEST #7 H-1